⠀
Pengamatan matahari dilakukan dengan maksud untuk menentukan asimut/arah suatu sisi pada jalur poligon yang selanjutnya asimut tersebut digunakan sebagai asimut awal dalam proses perhitungan asimut sisi poligon yang lainnya. Untuk menentukan posisi atau asimut antara dua buah titik di permukaan bumi dapat dilakukan dengan mengamati posisi benda langit atau matahari terhadap bumi pada satu saat tertentu. Posisi benda langit, bintang dan matahari terhadap bumi dinyatakan dengan bantuan sebuah bola langit dan beberapa sistem koordinat yang ditentukan padanya.
Bola Langit adalah sebuah bola dengan jari-jari tak terhingga dan berpusat di pusat bumi. Dari bumi semua benda langit diproyeksikan ke bola langit. Perpanjangan sumbu putar bumi memotong bola langit di kutub utara dan kutub selatan (KU dan KS) bola langit.
O : titik pusat bola langit
U : titik utara
S : titik selatan
T : titik timur
B : titik barat
Z : titik zenit
N : titik nadir
M : benda langit (matahari)
KU : kutub utara
KS : kutub selatan
M : benda langit (matahari)
Segitiga astronomis ialah segitiga bola langit yang dibatasi oleh lingkaran besardan dibentuk oleh titik Zenit ( Z ), benda langit yang diamati (M) dan kutub bola langit (KU). Untuk Indonesia sebagai acuan dipilih kutub utara, sehingga segitiga astronomis yang dimaksud adalah : KU-Z-M.
Terdapat enam unsur segitiga astronomis adalah tiga unsur sudut KU, Z, M dan tiga unsur sisi yaitu masing-masing :
KU – Z = (90 – j)
Z – M = (90 – h)
M – KU = (90 – d)
Sudut di titik KU dinamakan dengan sudut waktu (t), di titik Z dinamakan Asimut (A) dan di titik M dinamakan Sudut paralaktis (q).
Pada gambar di atas benda langit M terletak disebelah timur, bila disebelah barat maka tiga unsur sudutnya adalah asimut (A), sudut waktu (t) dan sudut paralaktis (q) ; disini A = 360o – Am; dimana Am = asimut benda langit
Pengamat dapat berada disebelah utara atau selatan ekuator, demikian pula benda langit yang diamati. Posisi benda langit M terhadap zenit (Z) dan kutub utara (KU) dengan beracuan terhadap mata angin, dapat dibedakan menjadi empat macam segitiga astronomis sebagai berikut :
Pemecahan dari ke 4 macam segitiga astronomis tersebut menggunakan rumus yang sama, tetapi dari hasil pemecahannya tidak akan memberikan posisi yang jelas dimana benda langit itu berada, di timur atau di barat. Untuk dapat menetapkan apakah terletak di barat atau di timur maka lihat dulu harga cosinusnya positif atau negatif, sehingga ada 4 macam kemungkinan yang terjadi yaitu :
Untuk kasus
Asimut matahari (Am) untuk setiap saat dapat ditentukan bila kita dapat mengamati matahari tersebut untuk menentukan tingginya (dari lingkaran vertikal) dan dibaca lingkaran horisontalnya serta dicatat pula waktu pada saat pengamatan tersebut.
Apabila sebelum dan atau sesudah mengamati matahari kemudian teropong dibidikan ketitik acuan (T) dan dibaca lingkaran horisontalnya, sehingga dapat dihitung besar sudut horisontl antara titik acuan dan matahari ( y ) maka dapat ditentukan asimut kearah titik acuan.
Untuk itu dalam melakukan pengamatan matahari diperlukan alat ukur yang dapat mengukur sudut horisontal dan sudut vertikal yaitu alat teodolit dan sejenisnya, serta alat penunjuk waktu (jam).
Sudut y adalah selisih pembacaan lingkaran horisontal teodolit ke titik acuan (HT) dan kematahari (HM); y = HT – HM.
Pada segitiga astronomis, asimut matahari (A) dari segitiga bola KU-Z-M dapat ditentukan bila diketahui tiga unsur pada segitiga tersebut.
Dengan menggunakan peralatan tersebut di atas kita dapat menentukan dua unsur yaitu busur Z-M dan waktu pengamatan (t), sehingga masih kekurangan data lintang tempat pengamatan dan deklinasi matahari, kekurangan data tersebut bisa dibantu dengan :
Sehingga sekarang dari segitiga astronomis di atas diketahui empat unsur yaitu :
Bila pemecahan segitiga astronomis untuk menentukan besarnya asimut (A) kita gunakan tiga unsur dari atas yaitu : (90 – h), (90 – j), dan (90 – d), dinamakan metoda tinggi matahari.
Bila pemecahannya menggunakan tiga unsur dari bawah yaitu : t, (90-d), dan (90-j) dinamakan metoda sudut waktu.
Yang lebih sering digunakan perhitungan asimut dengan metoda tinggi matahari, seperti telah diuraikan di atas pada rumus hitungan metoda tinggi matahari diperlukan data : tinggi matahari pada saat pengamatan (h), deklinasi (d) dan lintang pengamat (j).
Rumus pemecahan dari tiga unsur di atas adalah :
di sederhanakan menjadi :
atau bila digunakan sudut zenit:
dimana :
A : Sudut dalam segitiga bola dititik Z ; bila pagi hari asimut matahari (Am) = A ; bila sore hari Am = 360o – A
δ : deklinasi saat pengamatan diperoleh dari tabel/alamanak matahari dengan argumen waktu pengamatan (tanggal, bulan, tahum, jam, menit, sekon).
φ : Lintang tempat pengamatan diperoleh dari peta topografi dengan cara interpolasi.
h : sudut miring ke matahari pada saat pengamatan
z : sudut zenit matahari pada saat pengamatan
Sudut zenit/miring ini harus dikoreksi terlebih dahulu dengan :
Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, pengamatan dilakukan pagi dan sore jika hasil pengamatan tidak sama diambil harga rata-ratanya.
Untuk keperluan pengamatan matahari diperlukan peralatan :
Pengamatan matahari dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari peralatan yang digunakan/tersedia antara lain :
Bila tidak ada peralatan khusus seperti filter gelap, dan membidik langsung ke matahari tidak mungkin dilakukan sehingga kita harus menggunakan cara lain yaitu dengan menadah bayangan matahari di belakang lensa okuler dengan kertas putih, dengan cara sebagai berikut :
Apabila teropong tidak mempunyai lingkaran matahari, maka pembidikan ke matahari dilakukan dengan cara menyinggungkan tepi-tepi bayangan matahari ke benang silang horisontal dan vertikal diafragma, seperti pada gambar berikut:
Catatan :
Disini pengamat berdiri membelakangi matahari, karena bayangan matahari diamati dibelakang okuler ; perhatikan gambar berikut :
Filter dipasang di okuler atau di objektif teropong tergantung dari bentuk filter tersebut, sehingga pengamat dapat membidik langsung ke matahari. Apabila diapragma mempunyai lingkaran matahari maka pembidikan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Bila sudah tepat ditengah baca waktu, sudut vertikal dan horisontal dan catat pada formulir yang telah disiapkan sebelumnya.
Catatan :
Kadang-kadang lingkaran matahari pada diafragma tidak sama dengan lingkaran bayangan matahari, sehingga kita harus cermat dan teliti dalam menempatkan bayangan tersebut sehingga tepat di tengah lingkaran.
Apabila teropong tidak mempunyai lingkaran matahari, maka pembidikan ke matahari dilakukan dengan cara menyinggungkan tepi-tepi bayangan matahari ke benang silang horisontal dan vertikal diafragma, seperti pada gambar berikut :
Posisi persinggungan tersebut dapat dipilih sesuai dengan selera/keinginan pengamat, bisa di kwadran I, II, III atau IV.
Bila teropong tanpa lingkaran matahari dan tanpa filter, maka disamping kita tidak dapat langsung membidik matahari kita juga sulit untuk menempatkan benang silang pada tepi-tepi bayangan matahari cara ditadah, demikian pula akibat macam teropong yang terbalik dan tegak akan menimbulkan kesulitan dalam perhitungan selanjutnya.
Untuk menghinadri keadaan seperti tersebut di atas Prof. Roelofs telah membuat suatu alat khusus untuk mengamati matahari ini.
Alat tersebut terdiri dari sepasang prisma tipis yang berbentuk setengah lingkaran, satu sama lain dipasang saling tegak lurus dalam suatu tabung yang cukup pendek (satu prisma dipasang mendatar dan lainnya dipasang tegak), dan dibagian belakang dipasang filter berwarna hijau ; perhatikan gambar berikut :
Prisma Roelofs ini dipasang pada cincin lensa objektif teropong perhatikan gambar berikut :
Efek yang dihasilkan dari prisma ini bila dipasang di depan lensa objektif teropong dan digunakan untuk membidik matahari, akan didapat empat bayangan matahari di tiap-tiap kuadran. Sudut refraksi prisma dibuat 23’ sedemikian hingga bayangan matahari pada kuadran yang berbatasan akan saling bertampalan (overlap) seperti terlihat pada gambar 31, dan tiap-tiap pertampalan akan membentuk persilangan yang terang.
Akibat dari filter tersebut di atas, maka akan menghasilkan bayangan hijau monokromatik yang enak untuk dipandang mata dan menetralisir panas sinar matahari yang masuk ke teropong sehingga dapat mencegah kerusakan pada sistem optis dari teropong.
Sehingga dengan alat ini akan didapat empat macam keuntungan yaitu :
Buka skrup pengunci gerakan vertikal dan horisintal, pasang prisma Roelofs di depan lensa objektif teropong dan keraskan cincin penghubung dengan baut pengeras (klem). Bidikan teropong ke matahari, setelah tepat kunci kembali skrup gerakan horisontal dan vertikal. Putar prisma Roelofs sedemikian rupa sehingga masing-masing titik potong dari bagian pertampalan bayangan matahari yang terang berimpit dengan benang silang diafragma. Kemudian tuas/tangkai pengunci dimatikan/dikunci agar prisma tersebut tidak dapat berputar kembali.
Apabila prisma telah terpasang dan teropong akan digunakan untuk membidik ke titik acuan, maka prisma tinggal dibuka ke samping seperti pada gambar 40 dan ditutup kembali jika akan digunakan untuk membidik matahari.
Apabila diputar 180o untuk pembidikan luar biasa, bila terpaksa harus melepas prisma, maka kita harus memasang dan menyetel kembali. Apabila penyetelan pertama dan kedua tidak sama, maka akan terjadi kesalahan sistematik yang besarnya sama dengan kesalahan kolimasi, sehingga harus hati-hati dalam pengaturannya.
Terima Kasih dan Semoga Bermanfaat!
Sumber:
Bahan Ajar
Teknik Geodesi, ITENAS-BANDUNG